By. Dian Putri Wulandari
Sejumlah survei yang dilakukan pada tahun 2011 lalu mengemukakan
adanya peningkatan nilai kekayaan orang-orang kaya di Indonesia. Majalah
Forbes misalnya pada November lalu merilis 40 daftar orang terkaya di
Indonesia dengan akumulasi kekayaan US$ 85,1 miliar. Angka tersebut naik
16% dari tahun sebelumnya. Dengan kata lain, nilai kekayaan mereka
setara dengan 11 persen total PDB Indonesia yang tahun ini diperkirakan
mencapai US$752 miliar. Hebatnya, tiga orang terkaya dari daftar
tersebut tersebut memiliki total kekayaan US$32,5 miliar.
Sementara itu, Nomura, lembaga riset yang berbasis di Jepang, dalam laporannya Indonesia: Building Momentum, menyebutkan jumlah kelas menengah (middle class)
Indonesia dengan pendapatan US$3.000 pertahun naik drastis dari 1,6
juta orang pada 2004 menjadi 50 juta pada tahun 2009. Peningkatan
tersebut seiring dengan naiknya harga komoditas di pasar internasional.
Berbagai laporan lembaga lainnya juga memiliki kesimpulan yang sama
bahwa jumlah orang kaya di Indonesia beserta asetnya semakin tinggi.
Namun
di sisi lain, tragisnya angka kemiskinan di negeri ini masih sangat
tinggi. Menurut BPS penduduk miskin Indonesia tahun 2011, dengan
pengeluaran kurang dari 230 ribu, mencapai 30 juta jiwa. Jika
ditambahkan dengan penduduk ‘hampir miskin’ yang pengeluarannya antara
Rp 233-280 ribu, jumlahnya meningkat menjadi 57 juta orang atau 24% dari
total penduduk Indonesia. Jumlah itu membengkak jika menggunakan
standar kemiskinan internasional yakni kurang dari US$2 perhari. Menurut
laporan Bank Dunia, pada tahun 2009, sebanyak 50,7% atau lebih dari
separuh dari penduduk negeri ini masih dalam kategori miskin (World
Bank, World Development Indicators 2011).
Selain itu, potret rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk Indonesia juga terlihat dari peringkat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang
dikeluarkan oleh UNDP. Posisi Indonesia berada pada urutan ke-124 dari
187 negara. Posisi tersebut lebih rendah dari beberapa negara Afrika
seperti Gabon, Bostwana dan Afrika Selatan. Indeks tersebut dianggap
lebih peka memotret tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara
dibandingkan dengan GDP. Ini karena indeks tersebut tidak hanya memotret
tingkat pendapatan penduduk, namun juga aspek kesehatan dan akses
mereka terhadap pendidikannya. Ini membuktikan bahwa meski Indonesia
masuk ke dalam anggota G-20, kelompok negara-negara yang memiliki GDP
terbesar dunia, namun tingkat kesejahteraan rakyatnya masih sangat
rendah.
Fakta di atas tentu menjadi sesuatu hal yang aneh
bila menimpa Indonesia karena semua orang tahu, alam Indonesia sangat
kaya. Areal hutannya termasuk paling luas di dunia, tanahnya subur, dan
alamnya indah. Indonesia juga adalah negeri yang memiliki potensi
kekayaan laut luar biasa. Wilayah perairannya sangat luas, kandungan
ikannya diperkirakan mencapai 6,2 juta ton, belum lagi kandungan
mutiara, minyak, dan kandungan mineral lainnya, serta keindahan alam
bawah lautan. Dari potensi ikan saja, menurut menteri kelautan dan
perikanan, bisa didapatkan devisa lebih dari 8 miliar dolar AS setiap
tahunnya.
Di bawah perut bumi sendiri tersimpan gas dan
minyak cukup besar. Indonesia merupakan negara penghasil minyak terbesar
ke-29 di dunia. Cadangan gasnya mencapai 160 TSCF (triliun standard cubic feet)
atau terbesar ke-11 dunia. Dalam dunia pertambangan, Indonesia pun
dikenal sebagai negara yang kaya dengan kandungan mineral yang siap
diangkat kapan saja. Indonesia menempati posisi produsen terbesar kedua
untuk komoditas timah, posisi terbesar keempat untuk komoditas tembaga
dan posisi kelima untuk komoditas nikel. Indonesia juga kaya batubara
atau terbesar ke-15 dunia dengan jumlah cadangan sebanyak 126 miliar
ton. Negeri ini juga kaya dengan barang tambang seperti emas, kandungan
emas di bumi Papua yang kini dikelola PT Freeport Indonesia, misalnya,
konon termasuk yang terbesar di dunia. Tidak aneh bila McMoran Gold and
Coper, induk dari PTFI, berani membenamkan investasi yang sangat besar
untuk mengeruk emas dari bumi Papua itu sebanyak-banyaknya dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya.
Pengelolaan SDA Ala Kapitalisme
Sumber
daya alam (SDA) adalah potensi sumber daya yang terkandung di dalam
bumi, air, maupun di udara. SDA berfungsi sebagai sarana untuk menunjang
kehidupan manusia di dunia sekaligus menjadi sumber penghidupan mereka.
Fungsi SDA ini sejak dulu hingga sekarang tidak berubah. Hanya saja
karena peran vitalnya bagi kehidupan manusia, SDA dapat menjadi sumber
konflik. Bahkan lebih dari itu, suatu negeri yang memiliki kekayaan alam
yang melimpah dapat mengundang perhatian dan invasi dari bangsa yang
tamak untuk menguasainya.
Sejarah mencatat bagaimana motif
negara-negara penjajah seperti Inggris, Spanyol, Portugis, Perancis,
dan Belanda menjelajah dunia untuk menemukan sumber rempah-rempah di
Indonesia. Berpadu dengan motif ideologis yakni perang salib,
negara-negara tersebut kemudian melakukan segala cara untuk menguasai
daerah-daerah kaya SDA yang mereka temui untuk dieksploitasi dan
dihisap. Tidak jauh berbeda dengan masa lalu, pada zaman moderen
sekarang, negeri yang kaya SDA akan menarik perhatian bangsa yang tamak
untuk menguasainya. Bedanya dulu komoditas utama adalah rempah-rempah
sedangkan sekarang minyak. Daerah-daerah yang kaya tambang minyak
seperti kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah hingga saat ini merupakan
wilayah yang tidak pernah berhenti bergejolak akibat invasi dan
cengkraman imperialisme Barat, khususnya Amerika Serikat, Inggris, dan
Perancis.
Begitu halnya dengan Indonesia, kekayaan alam
tersebut lebih banyak dinikmati oleh negara lain dan segelintir investor
swasta domestik. Sampai saat ini sumur migas di Indonesia, menurut
Dirjen Migas Evita Legowo, dikuasai oleh perusahaan minyak dan gas
(migas) asing sebesar 70%, hanya 30% yang digarap oleh perusahaan lokal
dan Pertamina. Penguasaan asing pada sektor tambang yang menghasilkan
emas, perak dan tembaga, pada tahun 2011 telah mencapai 90%. Karena
produksi dikuasai asing, maka hasilnya juga lebih banyak di ekspor ke
luar negeri daripada untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebagai
contoh, karena hampir 60% hasil gas diekspor maka sejumlah industri
menjerit-jerit kekurangan pasokan gas. Hal yang sama dialami PLN. Akibat
kekurangan gas, pembangkit listrik tenaga gas PLN terpaksa menggunakan
BBM yang biayanya jauh lebih mahal. Padahal menurut catatan PLN, jika
Januari-September 2011, PLTG yang ada menggunakan gas maka anggaran yang
dapat dihemat setidaknya Rp 5 triliun. Sumber energi lainnya seperti
batubara juga sama, dimonopoli swasta. Dengan produksi sekitar 250 juta
ton, 77 persen justru diekspor ke luar negeri. Kalaupun dijual ke dalam
negeri termasuk kepada PLN maka ia dijual dengan harga internasional.
Sebut saja Amerika Serikat (AS), dalam situs International Trade Centre disampaikan bahwa saat ini terdapat 277 perusahaan AS (parent company)
yang melakukan investasi langsung di Indonesia. Perusahaan-perusahaan
tersebut tersebar di berbagai sektor. Di sektor migas misalnya ada Cevron, Conocophillips, Exxon Mobile, Halliburton dan Murphy Oil. Tiga perusahaan pertama pada 2009 menguasai 52 persen pengelolaan minyak di Indonesia. Di sektor pertambangan ada Newmont Mining dan Freeport-Mcmoran. Di sektor pertanian dan peternakan ada Monsanto, Dupon dan Chargill. Di sektor perbankan dan investasi ada Citigroup dan JP Morgan. Di bidang perhotelan ada Hyat Group dan Mariot (Ritzl Carlton dan JW Mariot). Di bidang farmasi ada: Pfizer, Abbot, Procter & Gamble dan sejumlah perusahaan multinasional lainnya seperti: Philips Morris, Kraft, dan Cocacola.
Sebagai
tambahan, berdasarkan data Biro Analisa Ekonomi AS (BEA) pada tahun
2008, nilai aset dari 165 perusahaan AS yang berinvestasi di Indonesia
mencapai US$ 54 miliar dengan net income sebesar US$8,4 miliar.
Aset tersebut lebih dari seperempat dari total aset pemerintah yang
mencapai Rp2,072 triliun di tahun yang sama. Meski mereka adalah
perusahaan swasta, namun semakin besar keuntungan yang mereka peroleh,
maka pendapatan pajak pemerintah AS -yang menjadi tumpuan pendapatan
Negara- pun akan semakin besar. Dengan liberalisasi investasi, kekayaan
alam Indonesia yang semestinya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kepentingan rakyatnya justru semakin dikuasai oleh investor asing
termasuk diantaranya perusahaan-perusahaan AS. Rakyat Indonesia hanya
mendapatkan serpihan-serpihannya berupa pajak dan royalti yang jumlahnya
sangat minim.
Semua penjajahan tersebut dipermudah dengan
adanya arus globalisasi. Globalisasi atau liberalisasi ekonomi yang
didorong oleh motif-motif imperialis negara-negara maju menjadi aktor
kunci penghisapan ekonomi di negara-negara berkembang. Negara-negara
Kapitalis dengan berkedok globalisasi mengunci”posisi negara-negara
berkembang dalam pusaran liberalisasi ekonomi dan pasar bebas.
Globalisasi membentuk pemahaman bahwa kemakmuran suatu negara dapat
diciptakan dengan mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
menjadi jalan percepatan bagi sebuah negara untuk mencapai kemakmuran.
Pertumbuhan ekonomi dapat diwujudkan manakala pemerintah fokus pada
kebijakan peningkatan PDB dan PDRB. Upaya ini otomatis mendorong
pemerintah untuk memperbesar APBN melalui hutang. Pemerintah juga
dengan sendirinya melakukan liberalisasi ekonomi dan SDA untuk menarik
masuknya investor, mencabut subsidi, menaikkan harga barang publik,
serta meningkatkan surplus ekspor dari komoditas primer.
Melalui kebijakan liberal ini Indonesia menjadi tidak berdaulat atas sumber daya alam yang ada di wilayahnya sendiri. Sistem
ekonomi kapitalisme yang dianut oleh Indonesia meniscayakan siapapun
dapat memiliki apapun disertai minimnya campur tangan negara.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, setiap hal yang menguntungkan dapat
dikuasai oleh pihak swasta. Tidak terkecuali sumber daya alam yang
menyangkut kebutuhan orang banyak. Indonesia saat ini berada dalam
posisi subordinat dari kepentingan kapitalisme global. Cengkraman
kapitalisme global juga telah membuat negara abai dalam mengedepankan
ketahanan nasional dan memilih untuk mengedepankan kepentingan asing.
Padahal kekayaan sumber daya alam memiliki peran yang strategis bagi
sebuah negara. Sumber daya alam yang melimpah tentu saja dapat
membuat sebuah negara menjadi maju dengan industrinya jika dikelola
dengan benar. Disinilah diperlukan kebijakan politik ekonomi dalam
pengelolaan SDA yang tidak dimiliki oleh negara kita. Padahal AS sendiri
saja sebagai biang kapitalis tidak memperkenankan BUMN Cina CNOOC
terhadap Unocal yang tidak lain hanyalah perusahaan swasta saja. Seorang
politisi AS Byron Dorgan mengatakan, Unocal berada di AS dan telah menghasilkan 1,75 miliar barel minyak. Sangat bodoh bila perusahaan ini menjadi milik asing (Republika, 18/7/2005).
Fakta
diatas merupakan pelajaran, bahwasanya AS yang memaksakan liberalisasi
ekonomi ke seluruh dunia ternyata tanpa malu menjilat ludahnya sendiri.
Ini adalah bukti bahwa liberalisasi merupakan bagian dari strategi
politik imperialis AS.
Pengelolaan SDA Ala Islam
Menurut
pandangan Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus
dikelola hanya oleh negara yang hasilnya harus dikembalikan kepada
rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan
primer semisal pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.
Sistem
ekonomi Islam melarang atas sesuatu yang menjadi milik umum –termasuk
dalam hal ini SDA yang kandungannya sangat banyak– untuk dimiliki
individu. Baik yang tampak sehingga bisa didapat tanpa harus bersusah
payah –seperti garam, batubara, dan sebagainya– ataupun tambang yang
berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan
usaha keras –seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan
sejenisnya– baik berbentuk padat semisal kristal ataupun berbentuk cair,
semisal minyak, termasuk milik umum.
Pendapat bahwa
sumber daya alam milik umum harus dikelola oleh negara yang hasilnya
diberikan kepada rakyat dikemukakan oleh An-Nabhani berdasarkan pada
hadis riwayat Imam at-Turmidzi dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadis itu,
disebutkan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola
sebuah tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tetapi segera
diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda,
apa yang Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan
sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-’iddu).” Rasulullah kemudian bersabda, “Tariklah tambang tersebut darinya.”
Hadis
tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak
dengan air yang mengalir. Yang menjadi fokus dalam hadis tersebut tentu
saja bukan “garam”, melainkan tambangnya. Penarikan kembali pemberian
rasul kepada Abyadh adalah ‘illat (latar belakang hukum) dari
larangan atas sesuatu yang menjadi milik umum –termasuk dalam hal ini
SDA yang kandungannya sangat banyak– untuk dimiliki individu. Dalam
hadis yang dituturkan dari Amr bin Qais lebih jelas lagi disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam (ma’dan al-milh).
Jika
negara berani mengambil politik ekonomi pengelolaan SDA syariah, maka
pemerintah lebih mudah mengontrol kekayaan SDA untuk kepentingan
nasional. Investasi dalam pengelolaan SDA memang mahal, namun pemerintah
jangan terjebak pemahaman ekonomi Kapitalis bahwa negara dunia ketiga
miskin modal. Pemahaman ini hanya menggiring negara lemah seperti
Indonesia untuk berhutang atau pun mengundang investor asing dalam
mengelola kekayaan SDA yang kita miliki.
Justru di balik
perut bumi Indonesia itulah tersimpan kekayaan yang luar biasa yang
menjadi incaran bangsa-bangsa penjajah. Menerapkan liberalisasi sektor
SDA sama saja membuang potensi pendapatan negara dari harta milik umum
dan menciptakan jurang ketimpangan yang semakin lebar. Pada tahun 2009,
lima korporasi minyak utama dunia, yakni BP, ExxonMobil, Total, Shell,
dan Chevron memiliki pendapatan kotor sebesar US$ 1,19 trilyun setara 2%
nilai Produk Domestik Bruto (PDB) dunia atau 220,21% PDB Indonesia.
Keuntungan bersih lima korporasi ini mencapai US$ 68,018 milyar. Jumlah
keuntungan bersih tersebut sebanding dengan 79,62% pendapatan negara
dari nilai realisasi APBN-P 2009 (Sumber data: OPEC, World Bank, dan
Departemen Keuangan).
Politik ekonomi Islam di dalam
pengelolaan SDA-nya mengharuskannya untuk berada di bawah politik dalam
negeri dan politik industri Negara, yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan ummatnya dan menjadikan negara sebagai negara industri. Dalam
sistem ekonomi Islam, menurut An-Nabhani (1990), negara mempunyai
sumber-sumber pemasukan tertentu yang telah ditetapkan oleh syariat
melalui baitul mal. Baitul mal adalah kas negara untuk
mengatur pemasukan dan pengeluaran harta yang dikelola oleh negara.
Mekanisme pemasukan maupun pengeluarannya ditentukan oleh syariat Islam.
Pemasukan dan pengeluarannya kas baitul mal adalah:
1. Sektor kepemilikan individu.
Pemasukan
dari sektor kepemilikan individu ini berupa zakat, infak, dan sedekah.
Untuk zakat, karena kekhususannya, harus masuk kas khusus dan tidak
boleh dicampur dengan pemasukan dari sektor yang lain. Dalam
pengeluarannya, khalifah (kepala negara dalam pemerintahan Islam) harus
mengkhususkan dana zakat hanya untuk delapan pihak, sebagaimana yang
telah ditetapkan oleh al-Quran surah at-Taubah ayat 60.
2. Sektor kepemilikan umum.
Sektor
ini mencakup segala milik umum seperti hasil tambang, minyak, gas,
listrik, hasil hutan, dsb. Pemasukan dari sektor ini dapat digunakan
untuk kepentingan: (a) Biaya eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam;
mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan
perlengkapan, hingga segala hal yang berhubungan dengan dua kegiatan
pengelolaan sumber daya alam di atas. (b) Dibagikan secara langsung
kepada masyarakat yang memang merupakan pemilik sumberdaya alam.
Khalifah boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan
seperti air, gas, minyak, listrik secara gratis; atau dalam bentuk uang
hasil penjualan. (c) Sebagian dari kepemilikan umum ini dapat
dialokasikan untuk biaya dakwah dan jihad.
3. Sektor kepemilikan negara.
Sumber-sumber pemasukan dari sektor ini meliputi fa’i, ghanimah, kharaj, seperlima rikaz, 10 persen dari tanah ‘usyriyah, jizyah,
waris yang tidak habis dibagi dan harta orang murtad. Untuk
pengeluarannya diserahkan pada ijtihad khalifah demi kepentingan negara
dan kemashlahatan umat.
Satu-satunya jalan untuk menjadi
negara industri adalah menciptakan industri yang menjadi basis seluruh
industri. Industri ini adalah industri yang menghasilkan industri
alat-alat dan mesin (Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam).
Terkait
dengan politik industri sebut saja salah satu contohnya adalah industri
migas, politik industri mendorong negara memiliki kemampuan
menghasilkan peralatan, mesin, dan teknologi yang diperlukan untuk
eksplorasi migas, lifting, dan refinery. Kemandirian
ini akan membuat biaya investasi menjadi lebih efisien. Pengembangan
teknologi dan industri migas selanjutnya akan menghasilkan industri
turunan. Misalnya aspal, lilin, plastik, pupuk, keramik, minyak pelumas,
dan lain sebagainya.
Politik industri Islam juga
mengharuskannya untuk mengikuti politik luar negeri negara Islam. AS
bersama para sekutunya memusuhi Islam dan melakukan pendudukan atas
negeri-negeri Islam. Statusnya adalah kafir harbi fi’lan
sehingga industri migas dapat dijadikan senjata untuk melawan
negara-negara penjajah. Apalagi sebagian besar cadangan minyak dunia ada
di negeri-negeri Islam seperti di Timur Tengah yang menyimpan defosit
minyak sebesar 56,24% dari 1.337,2 trilyun barel cadangan minyak dunia
(OPEC, Annual Statistic Bulletin 2009). Melalui embargo minyak,
perekonomian AS dapat dilumpuhkan dengan cepat apalagi dengan
penghapusan dolar sebagai alat pembayaran transaksi minyak.
Dari
uraian ini jelaslah di mana letak strategisnya kekayaan SDA serta
bagaimana politik ekonomi, politik industri dan politik luar negeri
Islam ini dijalankan untuk menjadikan negeri Islam kuat dan mandiri.
Tidak boleh bagi negara membahayakan umat sebagaimana program
liberalisasi oleh rezim neoliberal yang notabene bagian dari strategi
imperialisme Barat. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh ada bahaya (dlarar) dan (saling) membahayakan”.” (HR Ahmad & Ibn Majah).
Jelas
sekali, pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya
alam negeri ini yang sesungguhnya sangat melimpah itu. Harus ada
strategi baru dalam memanfaatkan sumber daya itu. Namun demikian,
strategi apa pun tidak akan dapat berjalan jika tetap berada dalam
kontrol undang-undang dan peraturan yang bersumber dari sistem
kapitalisme-sekular seperti sekarang ini. Indonesia harus bebas dari
cengkraman penjajahan dan menerapkan syariah Islam sebagai solusi untuk
negeri kita dalam bingkai sistem Khilafah. Sistem ini tidak hanya akan
membuat Indonesia kuat tetapi juga terintegrasi dengan seluruh negeri
Islam sehingga cadangan SDA kita pun akan lebih besar lagi.
Sudah
saatnya pengelolaan sumber daya alam diatur dengan undang-undang dan
peraturan yang bersumber dari syariat Allah, Zat Yang Maha tahu atas
segala sesuatu, yang pasti jauh lebih mengetahui apa yang terbaik bagi
manusia. Karena itu, marilah kita renungkan kembali ayat “Apakah
(sistem) hukum jahiliyah yang mereka kehendaki. (Sistem) hukum siapakah
yang lebih baik dari pada (sistem) hukum Allah bagi orang-orang yang
yakin?” (QS al-Maidah [5]: 50).
Wallahu’alam.
Disampaikan pada Diskusi Terbatas Aktivis “Indonesia, Negeri Miskin di Tengah Kekayaan SDA”. Diselenggarakan oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Kampus Kota Bogor, 27 Januari 2012, Sekretariat MHTI, Arzimar, Bogor
0 komentar:
Posting Komentar