Oleh: Arini Retnaningsih
AQJ, anak Ahmad Dhani,
yang masih berusia 13 tahun ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan
di tol Jagorawi yang memakan 7 korban tewas dan 9 lainnya luka-luka . AQJ
mengemudikan sendiri mobil sedan Lancer dengan kecepatan tinggi sehingga kehilangan
kendali. Mobilnya menabrak pembatas jalan dan menyeruduk Granmax yang melaju dari arah berlawanan.
Kasus kecelakaan ini
mengundang kontroversi yang hangat karena melibatkan anak di bawah umur, dengan
jumlah korban tidak sedikit. Beberapa pihak menuding orang tua AQJ adalah pihak
yang harus dimintai pertanggungjawaban dalam kasus ini. Kadiv Pengawasan dan Monev Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), M Ihsan menilai Abdul Qodir Jaelani atau yang lebih akrab
disapa Dul ini merupakan korban salah asuh orang tua. “Orang tuanya tidak
memahami ada hal yang sudah dibolehkan untuk anak-anak dan yang yang belum,
baik secara hukum, maupun nilai dan norma,” katanya (Republika online,
08/09/2013).
Komisi Perlindungan Anak
Indonesia merekomendasikan kasus kecelakaan yang melibatkan AQJ dapat
diselesaikan di luar jalur hukum jika ada kesepakatan antara keluarga korban
dan pelaku. “Jika keluarga korban setuju, polisi dapat
menggunakan deskresi dan kewenangannya untuk menyelesaikan kasus ini di luar
jalur hukum formal,” ujar Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh. Asrorun mengatakan, penyelesaian di luar
jalur hukum dapat dilakukan, namun tidak boleh mengingkari rasa keadilan
korban, karena perlu ada kerelaan dari pihak korban (antaranews, 12/09/13). Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Akbar Hadi, mengatakan pendamping
Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan siap mendampingi AQJ jika setelah pulih ia
dihadapkan pada proses hukum. Pendampingan ini dilakukan agar AQJ mendapatkan
keadilan yang menjunjung tinggi asas restoratif dan hak-hak anak. Ini sesuai
dengan amanat Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
(Tempo.co.id, 16/09/13).
Sementara itu, Adrianus
Meliala, Kompolnas dan kriminolog UI berpendapat AQJ lebih tepat dijerat dengan
UU Pidana dan UU Lalu Lintas, terutama untuk menjerat orang tua AQJ, Ahmad
Dhani yang juga harus bertanggungjawab, karena membiarkan seorang anak 13 tahun
mengemudikan mobil (gatranews, 11/09/13).
Kasus AQJ mengangkat
kembali pembahasan tentang penyelesaian masalah anak berhadapan dengan hukum
(ABH) yang pernah mengemuka beberapa waktu lalu pada kasus AAL, anak yang
mencuri sandal jepit di Palu. Perdebatan yang muncul sama, apakah anak layak
untuk dijatuhi hukum pidana, atau masalahnya dapat diselesaikan di luar
pengadilan? Jawaban masalah ini menjadi krusial karena data Komnas Perlindungan
Anak menyebutkan ada 6000-an anak yang setiap tahunnya berurusan dengan hukum.
Paradigma
Penyelesaian Kasus Pidana Anak
Untuk mengatur masalah anak yang berkonflik dengan
hukum, telah disahkan UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Dalam
UU yang terdiri atas 108 pasal itu, ditegaskan bahwa yang disebut Anak dalam
kasus Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.
Asas yang dianut dalam
Sistem Peradilan Anak di antaranya adalah: kepentingan terbaik bagi anak;
penghargaan terhadap pendapat anak; kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak;
pembinaan dan pembimbingan anak; perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai
upaya terakhir; dan penghindaran pembalasan.
Pasal 3 UU tersebut
menyatakan, setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak di antaranya: a.
Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan
umurnya; b. Dipisahkan dari orang dewasa; c. Melakukan kegiatan rekreasional;
d. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak
manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; e. Tidak dijatuhi pidana
mati atau pidana seumur hidup; dan f. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara,
kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.
Sistem Peradilan Anak
pun wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif, serta wajib diupayakan
diversi dengan tujuan mencapai perdamaian antara korban dan anak; menyelesaikan
perkara anak di luar proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan
kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa
tanggung jawab kepada anak. (http://www.setkab.go.id/).
Pada prinsipnya
pendekatan hukum pada kasus ABH didasari dua asumsi, Pertama : anak-anak
dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat, sehingga sudah
sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian hukuman
bagi anak-anak dengan orang dewasa. Hal ini didasari asumsi bahwa anak tidak
dapat melakukan kejahatan atau doli incapax dan tidak dapat secara penuh
bertanggung jawab atas tindakannya. Kedua : bila dibandingkan dengan orang
dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina dan disadarkan.
Berdasarkan asumsi di atas, maka tindakan hukum
yang dilakukan terhadap mereka yang berusia di bawah 18 tahun harus
mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. Pendekatan yang digunakan untuk
penanganan anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan nilai, prinsip, dan
norma Konvensi Hak Anak adalah pendekatan yang murni mengedepankan
kesejahteraan anak (Pasal 3 ayat (1),(2),(3)) dan pendekatan kesejahteraan
dengan intervensi hukum (Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40).
Berangkat dari konsep ini, pendekatan dengan model
penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut restorative justice saat ini
dianggap lebih layak diterapkan dalam menangani pelanggar hukum usia anak.
Prinsip ini merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan
kesejahteraan dan pendekatan keadilan.
Konsep
Keadilan Restoratif
Konsep keadilan Restoratif telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang lalu sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan keadilan restoratif sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan datang. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi dan diversi.
Diskresi adalah kebijaksanaan dalam memutuskan sesuatu tindakan tidak berdasarkan hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijakan, pertimbangan atau keadilan ( Pramadya, 1977 :91). Diskresi dalam kasus ABH dapat dilakukan oleh polisi saat proses penyidikan, misalnya dengan menghentikan proses penyidikan dan mengalihkannya kepada solusi lain seperti musyawarah atau kesepakatan damai antara pelaku dan korban.
Diversi adalah pengalihan penanganan kasus kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana keluar dari proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah dengan atau tanpa syarat.
Konsep keadilan Restoratif telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang lalu sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan keadilan restoratif sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan datang. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi dan diversi.
Diskresi adalah kebijaksanaan dalam memutuskan sesuatu tindakan tidak berdasarkan hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijakan, pertimbangan atau keadilan ( Pramadya, 1977 :91). Diskresi dalam kasus ABH dapat dilakukan oleh polisi saat proses penyidikan, misalnya dengan menghentikan proses penyidikan dan mengalihkannya kepada solusi lain seperti musyawarah atau kesepakatan damai antara pelaku dan korban.
Diversi adalah pengalihan penanganan kasus kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana keluar dari proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah dengan atau tanpa syarat.
Adapun yang menjadi
tujuan upaya diversi adalah :
1) untuk menghindari anak dari penahanan;
2) untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;
3) untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;
4) agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
5) untuk melakukan intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal;
6) menghindarkan anak mengikuti proses sistem peradilan;
7) menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
Konsep diversi juga mempertimbangkan kepentingan korban, kepatutan didalam masyarakat, umur anak (minimal 12 tahun) dan pertimbangan pihak lain dalam hal ini Balai Pemasyarakatan. Keputusan Diversi dapat berupa penggantian dengan ganti rugi, penyerahan kembali ke orang tua, kerja sosial selama 3 bulan dan pelayanan masyarakat.
1) untuk menghindari anak dari penahanan;
2) untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;
3) untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;
4) agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
5) untuk melakukan intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal;
6) menghindarkan anak mengikuti proses sistem peradilan;
7) menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
Konsep diversi juga mempertimbangkan kepentingan korban, kepatutan didalam masyarakat, umur anak (minimal 12 tahun) dan pertimbangan pihak lain dalam hal ini Balai Pemasyarakatan. Keputusan Diversi dapat berupa penggantian dengan ganti rugi, penyerahan kembali ke orang tua, kerja sosial selama 3 bulan dan pelayanan masyarakat.
Program diversi dapat
menjadi bentuk restoratif justice jika :
*) mendorong anak untuk bertanggung jawab atas
perbuatannya;*)memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban;
*) memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses;
*) memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;
*) memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.
Pelaksanaan metode sebagaimana telah dipaparkan
diatas ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip
kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, diversi tersebut berdasarkan
pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and
fullfilment child rights based approuch).
Sasaran dari proses peradilan pidana menurut
perspektif keadilan restoratif adalah menuntut pertanggungjawaban
pelanggar terhadap perbuatan dan akibat-akibatnya, yakni bagaimana merestorasi
penderitaan orang yang terlanggar haknya (korban) seperti pada posisi sebelum
pelanggaran dilakukan atau kerugian terjadi, baik aspek materiil maupun aspek
immateriil.
Dalam penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum
(ABH), konsep pendekatan keadilan restoratif menjadi sangat penting karena
menghormati dan tidak melanggar hak anak. Keadilan restoratif setidak-tidaknya
bertujuan untuk memperbaiki/memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang
dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan
lingkungannya. Anak yang melakukan tindak pidana dihindarkan dari proses hukum
formal karena dianggap belum matang secara fisik dan psikis, serta belum mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Keadilan restoratif adalah
konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep pemidanaan tidak hanya terbatas pada
ketentuan hukum pidana (formal dan materil). Keadilan restoratif harus juga
diamati dari segi kriminologi dan sistem pemasyarakatan. (Bagir Manan, 2008 :
4)
Keadilan restoratif ini
dianggap memiliki kelebihan dibandingkan dengan keadilan restributif yaitu :
*) Memperhatikan hak – hak semua elemen pelaku, korban, dan masyarakat.
*) Berusaha memperbaiki kerusakan atau kerugian yang ada akibat tindak pidana yang terjadi.
*)Meminta pertanggungjawaban langsung dari seorang pelaku secara utuh sehingga korban mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya.
*) Mencegah untuk terjadinya tindak pidana yang berikutnya.
*) Memperhatikan hak – hak semua elemen pelaku, korban, dan masyarakat.
*) Berusaha memperbaiki kerusakan atau kerugian yang ada akibat tindak pidana yang terjadi.
*)Meminta pertanggungjawaban langsung dari seorang pelaku secara utuh sehingga korban mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya.
*) Mencegah untuk terjadinya tindak pidana yang berikutnya.
Kontroversi Keadilan Restoratif
Tidak semua kalangan sepakat dengan paradigma keadilan restoratif dalam kasus ABH. Salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Martina dalam Kompasiana tanggal 21 Agustus 2012. Martina mengungkapkan segi negatifnya sebagai berikut :
Anak Berhadapan dengan Hukum dinilai sebagai subyek hukum yang belum cakap dan tidak dapat memahami apa yang dilakukannya. Tetapi, pada jaman globalisasi seperti sekarang ini pembentukan karakter dan pola pikir anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan baik rekan bergaul maupun hal-hal lain yang mudah sekali didapatnya melalui media informasi baik secara elektronik maupun non elektronik. Sehingga, suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh ABH bisa jadi memang dikehendaki oleh ABH dan dia juga memahami apa akibat dari perbuatan yang dilakukannya itu. Bila tindak pidana yang dilakukan anak tersebut ancaman pidananya dibawah 7 tahun dan dilakukan diversi terhadapnya, maka dikuatirkan hal itu tidak memberi efek jera dan ABH akan melakukannya lagi.
Penerapan konsep Diversi ditakutkan akan menjadi celah bagi pelaku kejahatan yang mempergunakan anak sebagai subyek pelaku, seperti misal : maraknya sindikat yang mengeksploitasi anak untuk mencopet (human trafficking). Mencopet adalah sama dengan mencuri yang pada pasal 362 KUHP diancam pidana maksimal 5 tahun dan wajib untuk diupayakan diversi. Hal tersebut tidak memberi efek jera bagi si dader (orang yang menyuruh melakukan), jika dalam hal ini ABH juga dianggap sebagai korban (human trafficking). Jika ternyata tindak pidana tersebut juga diniati/ dikehendaki oleh ABH dan secara sadar ABH melakukan perintah si Dader dengan kerjasama dan mengetahui serta mengkehendaki akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya tersebut, maka konsep diversi tidak memberi efek jera. Diversi malah berpotensi menjadi celah bagi si ABH untuk melakukan kejahatan serupa lagi atau tindak pidana lainnya tanpa khawatir dihukum.
Adanya efek negatif dari sistem diversi dalam keadilan restoratif ini menunjukkan kelemahan paradigma yang mendasarinya. Adanya ancaman pidana saja tidak mampu untuk mengurangi tindak pidana anak di bawah 18 tahun, apalagi jika hukuman pidana digantikan dengan prinsip keadilan restorasi.
Fakta di lapang menunjukkan angka kriminalitas anak terus bertambah tiap tahunnya. Data Komnas Perlindungan Anak menunjukkan, kasus ABH tahun 2011 yang sampai pada lembaga ini sebanyak 1.851 kasus, meningkat dibanding tahun 2010 sebanyak 730 kasus.
Memang benar, kejahatan yang dilakukan anak tidak dapat dibebankan sepenuhnya di pundak anak. Ada banyak faktor yang menjerumuskan anak ke dalam kejahatan. Kemiskinan, kerusakan moral, kontrol sosial lemah, keluarga tidak harmonis, dan sebagainya. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat diabaikan dalam memunculkan kriminalitas di kalangan anak.
Sayangnya, paradigma penyelesaian kasus kriminal anak selalu terpaku pada bentuk hukuman yang akan dijatuhkan pada anak. Upaya konstruktif untuk menjauhkan anak dari tindak kriminalitas tidak banyak dilirik dalam rumusan penyelesaian kasus ini. Ibarat anak berdiri di tepi jurang tidak ada yang mencegahnya, tetapi begitu anak sudah terpeleset jatuh, baru semua orang berteriak. Sia-sia.
Tidak semua kalangan sepakat dengan paradigma keadilan restoratif dalam kasus ABH. Salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Martina dalam Kompasiana tanggal 21 Agustus 2012. Martina mengungkapkan segi negatifnya sebagai berikut :
Anak Berhadapan dengan Hukum dinilai sebagai subyek hukum yang belum cakap dan tidak dapat memahami apa yang dilakukannya. Tetapi, pada jaman globalisasi seperti sekarang ini pembentukan karakter dan pola pikir anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan baik rekan bergaul maupun hal-hal lain yang mudah sekali didapatnya melalui media informasi baik secara elektronik maupun non elektronik. Sehingga, suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh ABH bisa jadi memang dikehendaki oleh ABH dan dia juga memahami apa akibat dari perbuatan yang dilakukannya itu. Bila tindak pidana yang dilakukan anak tersebut ancaman pidananya dibawah 7 tahun dan dilakukan diversi terhadapnya, maka dikuatirkan hal itu tidak memberi efek jera dan ABH akan melakukannya lagi.
Penerapan konsep Diversi ditakutkan akan menjadi celah bagi pelaku kejahatan yang mempergunakan anak sebagai subyek pelaku, seperti misal : maraknya sindikat yang mengeksploitasi anak untuk mencopet (human trafficking). Mencopet adalah sama dengan mencuri yang pada pasal 362 KUHP diancam pidana maksimal 5 tahun dan wajib untuk diupayakan diversi. Hal tersebut tidak memberi efek jera bagi si dader (orang yang menyuruh melakukan), jika dalam hal ini ABH juga dianggap sebagai korban (human trafficking). Jika ternyata tindak pidana tersebut juga diniati/ dikehendaki oleh ABH dan secara sadar ABH melakukan perintah si Dader dengan kerjasama dan mengetahui serta mengkehendaki akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya tersebut, maka konsep diversi tidak memberi efek jera. Diversi malah berpotensi menjadi celah bagi si ABH untuk melakukan kejahatan serupa lagi atau tindak pidana lainnya tanpa khawatir dihukum.
Adanya efek negatif dari sistem diversi dalam keadilan restoratif ini menunjukkan kelemahan paradigma yang mendasarinya. Adanya ancaman pidana saja tidak mampu untuk mengurangi tindak pidana anak di bawah 18 tahun, apalagi jika hukuman pidana digantikan dengan prinsip keadilan restorasi.
Fakta di lapang menunjukkan angka kriminalitas anak terus bertambah tiap tahunnya. Data Komnas Perlindungan Anak menunjukkan, kasus ABH tahun 2011 yang sampai pada lembaga ini sebanyak 1.851 kasus, meningkat dibanding tahun 2010 sebanyak 730 kasus.
Memang benar, kejahatan yang dilakukan anak tidak dapat dibebankan sepenuhnya di pundak anak. Ada banyak faktor yang menjerumuskan anak ke dalam kejahatan. Kemiskinan, kerusakan moral, kontrol sosial lemah, keluarga tidak harmonis, dan sebagainya. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat diabaikan dalam memunculkan kriminalitas di kalangan anak.
Sayangnya, paradigma penyelesaian kasus kriminal anak selalu terpaku pada bentuk hukuman yang akan dijatuhkan pada anak. Upaya konstruktif untuk menjauhkan anak dari tindak kriminalitas tidak banyak dilirik dalam rumusan penyelesaian kasus ini. Ibarat anak berdiri di tepi jurang tidak ada yang mencegahnya, tetapi begitu anak sudah terpeleset jatuh, baru semua orang berteriak. Sia-sia.
1 komentar:
Best Ways to Find the Best Casino to Play Games in 2020 - DrMCD
The world of gambling is in 천안 출장마사지 full swing and now we've compiled a 오산 출장안마 list of 문경 출장샵 the best casinos to 구미 출장샵 play online. 사천 출장샵
Posting Komentar