RSS

Batas Tanggungjawab #Pidana Anak [2]


Oleh: Arini Retnaningsih

Definisi Anak dalam Islam
   
   Pendefinisian anak dan sampainya ia pada kedewasaan adalah pembahasan mendasar dalam hukum Islam. Ini karena ketika anak sampai di usia baligh, maka ia terbebani dengan taklif, yang membuat amalnya diperhitungkan sebagai pahala dan dosa. Begitu pula anak yang sudah baligh dianggap layak untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya. Pendefinisian anak yang tidak tepat memiliki implikasi terhadap cara pandang kita kepada anak yang nantinya ikut andil juga dalam memunculkan kejahatan anak-anak.

   Islam mendefinisikan anak adalah mereka yang belum mencapai masa baligh. Prof. Dr. Hj.Huzaemah T.Yanggo, MA dalam bukunya Fiqih Anak, mengatakan bahwa al-bulugh adalah habisnya masa kanak-kanak. Pada laki-laki, baligh ditandai dengan bermimpi (al ihtilam), dan perempuan ditandai dengan haid. Rasulullah saw bersabda :

“Pena –pencatat amal- itu diangkat dari tiga : dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa (yahtalima), dan dari orang gila sampai ia sadar.” (HR Baihaqi).


   Kata yahtalima adalah orang yang sudah bermimpi (al-ihtilam). Maka dipahami bahwa anak yang sudah baligh telah menerima beban taklif, yaitu menjalankan hukum syara’, dan dihisab sebagai implikasi dari pembebanan tersebut. Ini berarti pada saat baligh, anak dianggap telah dewasa dan dapat diperlakukan sebagai manusia dewasa di hadapan hukum.

   
   Dengan pemahaman dewasa adalah saat baligh, anak harus dipersiapkan sedemikian rupa hingga ia siap untuk menjadi manusia dewasa yang sanggup bertanggungjawab atas perbuatannya saat baligh. Ini berbeda dengan pandangan yang ada saat ini yang menganggap anak dewasa bila sudah menginjak usia 18 tahun. Pandangan ini membuat kontradiksi pada diri anak. Di satu sisi saat ia baligh, hormon-hormon dan alat reproduksinya sudah matang, sehingga secara biologis ia dewasa, namun di sisi lain ia tetap diperlakukan seperti anak-anak dan tidak mendapat pembekalan bagaimana bertanggungjawab dengan kondisi balighnya tersebut. Akibatnya secara akal pikiran, ia masih jauh dari matang. Kondisi ini membuat anak cenderung mudah terjerumus dalam dunia kejahatan.

Batas Tanggung Jawab Pidana Anak dalam Islam

   Baligh tidak hanya menyebabkan perubahan fisik atau psikis. Tapi juga berpengaruh pada kewajiban memenuhi seruan Allah. Mulai saat itu, seorang anak dikatakan telah dewasa. Dia berkewajiban terikat dengan hukum syara’. 

   Menurut Prof.Dr.Hj.Huzaemah T.Yanggo dalam bukunya Fiqh Anak, dia telah memiliki kelayakan mendapat tugas ( ahliyat al-wujub), serta kelayakan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas secara sempurna (ahliyat al-‘ada). Jika dia mentaati aturan, maka dia akan memperoleh pahala, dan sebaliknya jika melanggar aturan syariat, maka akan kena sanksi. Semua yang dilakukan akan dipertanggung jawabkan sendiri. Tidak bisa dilimpahkan atau digantikan oleh orang lain.

  Begitupun di hadapan hukum pidana, anak ketika mencapai usia baligh dapat dimintai pertanggungjawaban dan dikenakan sanksi sebagai konsekuensi dari perbuatan yang dilakukannya. Dalam Islam, hal itu adalah mungkin, karena saat seseorang mencapai baligh, ia sekaligus juga mencapai “aqil”, sehingga layak untuk dihadapkan pada konsekuensi hukum.

   Jika anak belum baligh, Huzaemah T. Yanggo menjelaskan terperinci dalam bukunya, anak seperti ini tidak dapat dihukum dengan hukuman seperti orang dewasa. Ini dikarenakan asas dalam pemberian hukuman tersebut adalah pelakunya mesti memiliki maksud dan tujuan yang jelas dan sempurna (benar-benar disengaja).

   Anak kecil tidak memiliki tujuan atau maksud yang jelas dari tindak pidananya, karena akalnya belum sempurna. Kesadaran dan pemahamannya pun belum lengkap, termasuk pemahamannya tentang hakekat kejahatan. Ia juga belum mampu memahami khithab Syari’ secara sempurna. Karena itu anak tidak dijatuhi hukuman pidana. Ini juga sesuai dengan hadist Rasulullas saw :


“Diangkat pena dari tiga golongan, dari yang tidur sampai ia bangun, dari anak-anak sampai ia dewasa dan dari orang gila sampai ia sadar.” (HR Baihaqi).


   Diriwayatkan pula bahwa seorang pencuri dihadapkan pada Khalifah Utsman. Sebelum memutuskan hukum potong tangan, Utsman memerintahkan untuk menyingkap sarung sang pencuri agar diketahui sudah baligh atau belum. Ketika ternyata terbukti pencuri tersebut belum baligh, Utsman tidak menjatuhkan hukuman padanya. Ini tidak dsanggah oleh para shahabat yang ada saat itu sehingga terjadi ijma’.


   Sekalipun tidak dijatuhi hukuman pidana, namun jumhur ulama fiqh berpendapat, dalam kasus pembunuhan, anak sebagai pelaku dikenakan diyat pembunuhan tidak disengaja atau keliru. Bila anak tidak memiliki harta, maka kewajiban diyat ini dibebankan kepada walinya.


   Sekalipun demikian, negara boleh mengambil kebijakan khusus bila terjadi masalah tindak pidana anak. Negara bisa memaksa orangtua atau wali untuk mendidik anaknya, atau negara mengambil anak dari pengasuhnya dan menyerahkannya pada pengasuh lain yang mampu dari kalangan kerabat yang berhak atas pengasuhan anak.

   Bila anak sebatang kara tidak memiliki pengasuh dan wali, maka negara berkewajiban memelihara anak tersebut dan mendidiknya agar tidak menjadi pelaku kriminal.

Solusi Komprehensif Islam

   Islam menyelesaikan masalah kriminal anak tidak hanya terpaku pada hukuman yang harus dijatuhkan pada anak. Islam lebih mengedepankan pendekatan sistemik yang akan mencegah anak menjadi pelaku kejahatan.

   Sebagai benteng pertama, Islam mewajibkan orangtua untuk mendidik anak sebaik-baiknya. Bahkan Islam meng”iming-imingi” orangtua dengan doa anak shaleh akan menjadi investasi pahala yang terus mengalir baginya sekalipun kematian sudah menjemput.


   Berikutnya Islam menjamin nafkah anak melalui serangkaian hukum yang wajib diterapkan. Nafkah anak dibebankan pada para wali. Bila wali tidak ada atau tidak mampu, negara wajib untuk menjamin nafkah anak. Dengan demikian anak tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya yang akan menyeretnya pada berbuat pidana.


   Islam juga memiliki kebijakan dalam pendidikan dengan menjadikan kurikulumnya berdasarkan aqidah Islam sehingga memiliki daya dorong bagi anak untuk menerapkan nilai-nilai dan hukum syara’. Begitu juga Islam memiliki mekanisme penjagaan aqidah dan moralitas. Islam mewajibkan negara untuk mencegah beredarnya miras, pornografi, dan media massa yang memiliki konten membahayakan aqidah dan akhlak umat. Negara dibekali dengan hak untuk menghukum siapapun yang menyebarkan kerusakan. Ini berbeda dengan system demokrasi di Indonesia, yang sampai Menkominfo pun mengeluh tidak memiliki hak untuk membreidel semua konten porno di media massa.

   Dengan serangkaian hak dan kewajiban yang Islam telah membebankannya kepada orangtua, masyarakat dan negara, maka Islam telah melindungi anak sepenuhnya dari berbuat tindak kriminal. wallahu'alam bisshowab

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar