Oleh: Arini Retnaningsih
Definisi Anak dalam Islam
Pendefinisian anak dan sampainya ia pada kedewasaan adalah pembahasan mendasar dalam hukum Islam. Ini karena ketika anak sampai di usia baligh, maka ia terbebani dengan taklif, yang membuat amalnya diperhitungkan sebagai pahala dan dosa. Begitu pula anak yang sudah baligh dianggap layak untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya. Pendefinisian anak yang tidak tepat memiliki implikasi terhadap cara pandang kita kepada anak yang nantinya ikut andil juga dalam memunculkan kejahatan anak-anak.
Islam mendefinisikan anak adalah mereka yang belum
mencapai masa baligh. Prof. Dr. Hj.Huzaemah T.Yanggo, MA dalam bukunya Fiqih
Anak, mengatakan bahwa al-bulugh adalah habisnya masa kanak-kanak. Pada
laki-laki, baligh ditandai dengan bermimpi (al ihtilam), dan perempuan ditandai
dengan haid. Rasulullah saw bersabda :
“Pena –pencatat amal- itu diangkat dari tiga : dari
orang yang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa
(yahtalima), dan dari orang gila sampai ia sadar.” (HR Baihaqi).
Kata yahtalima adalah orang yang sudah bermimpi
(al-ihtilam). Maka dipahami bahwa anak yang sudah baligh telah menerima beban
taklif, yaitu menjalankan hukum syara’, dan dihisab sebagai implikasi dari
pembebanan tersebut. Ini berarti pada saat baligh, anak dianggap telah dewasa
dan dapat diperlakukan sebagai manusia dewasa di hadapan hukum.
Dengan pemahaman dewasa adalah saat baligh, anak harus dipersiapkan sedemikian rupa hingga ia siap untuk menjadi manusia dewasa yang sanggup bertanggungjawab atas perbuatannya saat baligh. Ini berbeda dengan pandangan yang ada saat ini yang menganggap anak dewasa bila sudah menginjak usia 18 tahun. Pandangan ini membuat kontradiksi pada diri anak. Di satu sisi saat ia baligh, hormon-hormon dan alat reproduksinya sudah matang, sehingga secara biologis ia dewasa, namun di sisi lain ia tetap diperlakukan seperti anak-anak dan tidak mendapat pembekalan bagaimana bertanggungjawab dengan kondisi balighnya tersebut. Akibatnya secara akal pikiran, ia masih jauh dari matang. Kondisi ini membuat anak cenderung mudah terjerumus dalam dunia kejahatan.
Batas Tanggung Jawab Pidana Anak dalam Islam
Baligh tidak hanya menyebabkan perubahan fisik atau psikis. Tapi juga berpengaruh pada kewajiban memenuhi seruan Allah. Mulai saat itu, seorang anak dikatakan telah dewasa. Dia berkewajiban terikat dengan hukum syara’.
Baligh tidak hanya menyebabkan perubahan fisik atau psikis. Tapi juga berpengaruh pada kewajiban memenuhi seruan Allah. Mulai saat itu, seorang anak dikatakan telah dewasa. Dia berkewajiban terikat dengan hukum syara’.
Menurut Prof.Dr.Hj.Huzaemah T.Yanggo dalam bukunya Fiqh Anak, dia
telah memiliki kelayakan mendapat tugas (
ahliyat al-wujub), serta kelayakan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas
secara sempurna (ahliyat al-‘ada). Jika dia mentaati aturan, maka dia akan
memperoleh pahala, dan sebaliknya jika melanggar aturan syariat, maka akan kena
sanksi. Semua yang dilakukan akan dipertanggung jawabkan sendiri. Tidak bisa
dilimpahkan atau digantikan oleh orang lain.
Begitupun di hadapan hukum pidana, anak ketika
mencapai usia baligh dapat dimintai pertanggungjawaban dan dikenakan sanksi
sebagai konsekuensi dari perbuatan yang dilakukannya. Dalam Islam, hal itu
adalah mungkin, karena saat seseorang mencapai baligh, ia sekaligus juga
mencapai “aqil”, sehingga layak untuk dihadapkan pada konsekuensi hukum.
Jika anak belum baligh, Huzaemah T. Yanggo
menjelaskan terperinci dalam bukunya, anak seperti ini tidak dapat dihukum
dengan hukuman seperti orang dewasa. Ini dikarenakan asas dalam pemberian
hukuman tersebut adalah pelakunya mesti memiliki maksud dan tujuan yang jelas
dan sempurna (benar-benar disengaja).
Anak kecil tidak memiliki tujuan atau maksud yang
jelas dari tindak pidananya, karena akalnya belum sempurna. Kesadaran dan
pemahamannya pun belum lengkap, termasuk pemahamannya tentang hakekat
kejahatan. Ia juga belum mampu memahami khithab Syari’ secara sempurna. Karena
itu anak tidak dijatuhi hukuman pidana. Ini juga sesuai dengan hadist
Rasulullas saw :
“Diangkat pena dari tiga golongan, dari yang tidur
sampai ia bangun, dari anak-anak sampai ia dewasa dan dari orang gila sampai ia
sadar.” (HR Baihaqi).
Diriwayatkan pula bahwa seorang pencuri dihadapkan
pada Khalifah Utsman. Sebelum memutuskan hukum potong tangan, Utsman
memerintahkan untuk menyingkap sarung sang pencuri agar diketahui sudah baligh
atau belum. Ketika ternyata terbukti pencuri tersebut belum baligh, Utsman
tidak menjatuhkan hukuman padanya. Ini tidak dsanggah oleh para shahabat yang ada
saat itu sehingga terjadi ijma’.
Sekalipun tidak dijatuhi hukuman pidana, namun
jumhur ulama fiqh berpendapat, dalam kasus pembunuhan, anak sebagai pelaku
dikenakan diyat pembunuhan tidak disengaja atau keliru. Bila anak tidak
memiliki harta, maka kewajiban diyat ini dibebankan kepada walinya.
Sekalipun demikian, negara boleh mengambil
kebijakan khusus bila terjadi masalah tindak pidana anak. Negara bisa memaksa
orangtua atau wali untuk mendidik anaknya, atau negara mengambil anak dari
pengasuhnya dan menyerahkannya pada pengasuh lain yang mampu dari kalangan
kerabat yang berhak atas pengasuhan anak.
Bila anak sebatang kara tidak memiliki pengasuh dan
wali, maka negara berkewajiban memelihara anak tersebut dan mendidiknya agar
tidak menjadi pelaku kriminal.
Solusi Komprehensif Islam
Islam menyelesaikan masalah kriminal anak tidak
hanya terpaku pada hukuman yang harus dijatuhkan pada anak. Islam lebih
mengedepankan pendekatan sistemik yang akan mencegah anak menjadi pelaku
kejahatan.
Sebagai benteng pertama, Islam mewajibkan orangtua
untuk mendidik anak sebaik-baiknya. Bahkan Islam meng”iming-imingi” orangtua dengan doa anak shaleh akan menjadi investasi pahala yang
terus mengalir baginya sekalipun kematian sudah menjemput.
Berikutnya Islam menjamin nafkah anak melalui
serangkaian hukum yang wajib diterapkan. Nafkah anak dibebankan pada para wali.
Bila wali tidak ada atau tidak mampu, negara wajib untuk menjamin nafkah anak.
Dengan demikian anak tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya yang akan menyeretnya
pada berbuat pidana.
Islam juga memiliki kebijakan dalam pendidikan
dengan menjadikan kurikulumnya berdasarkan aqidah Islam sehingga memiliki daya
dorong bagi anak untuk menerapkan nilai-nilai dan hukum syara’. Begitu juga Islam memiliki mekanisme penjagaan
aqidah dan moralitas. Islam mewajibkan negara untuk mencegah beredarnya miras,
pornografi, dan media massa yang memiliki konten membahayakan aqidah dan akhlak
umat. Negara dibekali dengan hak untuk menghukum siapapun yang menyebarkan
kerusakan. Ini berbeda dengan system demokrasi di Indonesia, yang sampai
Menkominfo pun mengeluh tidak memiliki hak untuk membreidel semua konten porno
di media massa.
Dengan serangkaian hak dan kewajiban yang Islam
telah membebankannya kepada orangtua, masyarakat dan negara, maka Islam telah
melindungi anak sepenuhnya dari berbuat tindak kriminal. wallahu'alam bisshowab
0 komentar:
Posting Komentar