By. Dian Putri Wulandari
Mahasiswi S2
Saat ini, ada satu persoalan besar yang menimpa umat manusia,
termasuk bangsa negeri ini. Dengan jelas kita dapat mengindera, kualitas
generasi saat ini kondisinya jauh sekali dari harapan sebagai generasi
yang berkualitas. Seharusnya, generasi berkualitas akan mampu mengatasi
permasalahan yang terjadi di tengah masyarakatnya. Akan tetapi pada
faktanya, masih banyak permasalahan di Negeri ini. Kemiskinan dan
ketertinggalan masih menjadi icon bangsa Indonesia. Belum ada upaya yang
sungguh-sungguh dari generasi ini dalam rangka mencari solusi yang
tepat untuk mengeluarkan bangsa ini dari persoalannya.
Tidak
hanya ketidakmampuannya dalam menyelesaikan persoalan bangsa, bahkan
pergeseran kualitas generasi sampai pada level kerusakan integritas
(kepribadian). Pergeseran ini telah nyata dan buktinya dapat ditemukan
pada kehidupan sehari-hari. Betapa banyak keluhan orang tua dan para
pendidik tentang perilaku anak didik. Anak cenderung kurang menghargai
orang tua, kurangnya sopan santun dalam bersikap, karakter tidak sabar
dan budaya instan dalam menggapai tujuan mewarnai prilaku keseharian
mereka. Anak cenderung egois mementingkan diri sendiri dan hampir hilang
budaya untuk membantu sesama. Inilah profil hasil proses pendidikan
negeri ini.
Persoalan ini seharusnya mendapat perhatian yang serius
oleh masyarakat karena berbicara tentang generasi adalah berbicara
tentang masa depan, berbicara tentang bagaimana pengaturan urusan
masyarakat yang terjadi. Apakah akan terjadi pengaturan yang baik
sehingga terwujud keadilan dan kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat
ataukah sebaliknya, terjadi kedzaliman dan kerusakan. Dan persoalan ini
sejatinya tidak hanya menimpa Indonesia, melainkan seluruh dunia. Tidak
hanya kaum muslimin, melainkan umat manusia. Dengan kata lain, bukan
membesar-besarkan persoalan, akan tetapi memang telah nyata di depan
mata ancaman rusaknya generasi.
Pembahasan tentang ancaman
terhadap kualitas generasi, berarti mengevaluasi proses upaya
peningkatan kualitas generasi, yakni sistem pendidikan. Oleh karena itu,
sistem pendidikan menjadi sorotan dalam pembahasan ini. Bagaimana
kualitas sistem pendidikan yang ada sekarang, yang diasuh oleh
kapitalisme, sehingga menghasilkan output generasi seperti saat ini?
Sudah seharusnya masyarakat mengkaji dan membuat koreksi besar terhadap
sistem pendidikan berbasis kapitalisme ini. Selanjutnya, kita pun harus
menemukan solusi dari persoalan ini dan hal apa yang harus kita lakukan.
Racun Pragmatisme Berperan dalam Penurunan Kualitas Generasi
Bisa
dikatakan generasi saat ini didominasi oleh generasi pragmatis. Menurut
KBBI, pragmatis merupakan hal yang bersifat praktis dan berguna bagi
umum; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan);
mengenai atau bersangkutan dengan nilai-nilai praktis. Berdasarkan
definisi ini, dapat dilihat bahwa sifat pragmatis telah menjadikan
kepraktisan (manfaat) sebagai standar dalam menentukan keutamaan suatu
hal. Dan kepraktisan tersebut merupakan kompromi dengan realitas.
Realitas dijadikan sebagai subjek (standar) dalam menilai sesuatu demi
kepraktisan (instans) yang dapat diterima oleh keadaan (kondisi). Dari
sini kita bisa melihat bahwasanya di dalam sifat pragmatis, tidak akan
ada celah untuk terjadinya perubahan mendasar atas realitas (fakta).
Mengapa demikian? Karena aktivitas perubahan, apalagi perubahan yang
bersifat mendasar adalah aktivitas yang sulit dan meniscayakan tidak
adanya kompromi dengan realitas. Justru ‘realitas’ tersebut yang menjadi
obyek yang akan diubah. Selain itu, di dalam perubahan, meniscayakan
adanya sesuatu hal (pemikiran) yang baru (orisinil) yang berbeda dengan
‘realitas’. Jelas, karena ‘realitas’ tersebut sudah dipandang rusak dan
harus ganti dengan suatu hal yang baru di luar ‘realitas’ tersebut.
Dapat
disederhanakan bahwa sifat pragmatis adalah sifat ‘menerima
keadaan/realitas’ apa adanya. Tentu saja konteksnya, sifat ini muncul
manakala ada ketidaksesuaian antara realitas dengan idealitas, yang
kemudian terjadi kompromi antara realitas dan idealitas. Terlebih ketika
tidak adanya idealitas, akibat tidak adanya landasan atau pandangan
hidup (way of life) yang jelas, pastinya sikap kompromi dengan realitas tidak dapat dihindarkan lagi.
Lebih
jauh lagi, sikap pragmatis dapat mendorong lahirnya sikap individualis.
Ketika upaya kompromi dengan realitas sangat sulit diupayakan dan
membutuhkan ‘perjuangan’ yang keras, maka meniscayakan ada pengorbanan
kepentingan. Dan kepentingan yang akan dikorbankan terlebih dahulu
adalah kepentingan bersama atau masyarakat. Ketika hal ini terjadi,
berarti pada saat itu telah muncul sikap individualis. Dengan kata lain,
ketika pada suatu kondisi memperjuangkan nasib atau kepentingan
masyarakat itu terasa sulit, maka paling tidak bisa mengamankan nasib
atau kepentingan pribadi.
Sikap pragmatis akan menjadi
sangat berbahaya manakala bertemu dan berdampingan dengan sifat
materialis. Ketika pemuasan materi menjadi tujuan tertinggi (ghoyyah al-ghayyah)
di dalam kehidupan, maka standar penilaian realitas dan batas kompromi
adalah materi atau manfaat yang bisa diperoleh. Bukan distandarkan pada
nilai kebenaran yang seharusnya ada pada realitas tersebut. Dengan kata
lain, nilai kebenaran tersebut menjadi hal yang dikesampingkan. Bahkan,
sampai pada tingkat yang lebih parah, nilai kebenaran menjadi tidak
diakui keberadaannya. Sebagai contoh, ketika kejujuran pada kondisi saat
ini adalah sulit bahkan ‘cenderung kalah ketika berkompetisi dengan
kecurangan’, maka orang pragmatis akan tercebur pada sikap
ketidakjujuran. Mereka akan berdalih, ‘tidak mengapa jika untuk kebaikan’ atau ‘tidak mengapa jika sedikit tidak jujur’. Atau sampai pada tingkat yang parah, mereka mengatakan ‘sulit pada zaman sekarang apabila tidak jujur’ atau ‘saya tidak percaya dengan kejujuran’.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka jelaslah bahwa sifat pragmatis adalah sifat
yang berbahaya dan menjadi racun terhadap perubahan dan pelaku
perubahan. Terlebih sebagai seorang muslim, sifat ini bertentangan
dengan aqidah islam, yang mewajibkan seluruh realitas (fakta) dihukumi
dengan syariat islam yang berlandaskan kepada aqidah. Sehingga ketika
ditemukan adanya perbedaan antara fakta (realitas) dengan apa yang telah
menjadi ketentuan akidah/hukum syariat (idealitas), maka Islam
meniscayakan adanya perubahan. Bukan bersikap pragmatis, yakni
berkompromi dengan realitas tersebut.
Alhasil, bila
ditelaah maka menjadi jelas bahwa apa yang tengah terjadi adalah telah
masuknya virus pragmatisme pada generasi, sehingga menghasilkan
pergeseran kualitas generasi. Generasi saat ini telah menjadi generasi
yang instans, berkompromi dengan realitas akibat miskin idealitas,
individualis, dan materialis. Lantas, patut kiranya kita menelaah konsep
pendidikan saat ini sebagai proses yang bertanggungjawab terhadap
lahirnya kualitas generasi, yakni pendidikan yang dibangun oleh ideologi
kapitalisme.
Sistem Pendidikan ala Kapitalisme Melahirkan Generasi Pragmatis
Kapitalisme
sebagai ideology merupakan pemikiran yang mendasar yang melahirkan
konsep kehidupan. Pemikiran mendasar pada kapitalisme adalah menjadikan
sekulerisme sebagai asas kehidupan, materi sebagai tujuan kehidupan,
serta manfaat sebagai ukuran kehidupan (standar benar dan salah). Maka
pendidikan yang dibangun oleh ideology ini tidak terlepas dari
konsep-konsep dasar tersebut.
Dalam pendidikan
kapitalisme, sekulerisme dijadikan sebagai asas dalam pembentukan
kurikulum. Peran agama telah tereduksi, hanya diperkenankan pada wilayah
privat dan tidak ada ruang bagi wilayah publik. Pada wilayah publik,
ukuran (nilai) benar dan salah ditentukan oleh manusia berdasarkan
manfaat menurut pandangan manusia. Materi dijadikan sebagai tujuan
kehidupan dan standar kemuliaan/ketinggian derajat seseorang. Peserta
didik dididik dan ditanamkan dengan konsep-konsep ini di dalam
kehidupannya, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Sehingga secara tidak sadar, bagi masyarakat yang tidak memiliki filter
ideology, sekulerisme-materialisme telah menjadi pola pikir dan sikap
individu-individu masyarakat. Ilmu pengetahuan dan kemampuan/keahlian
yang diperoleh di institusi pendidikan, kelak harus berimplikasi
terhadap perolehan materi semata (menghasilkan keuntungan materi). Cara
pandang inilah yang pada akhirnya membuat generasi yang dididik oleh
pendidikan kapitalisme menjadi generasi yang pragmatis. Pola pikir
mereka pada akhirnya terbiasa menjadikan manfaat sebagai standar,
berpikir instans (tidak mau berpikir yang rumit), dan melakukan kompromi
antara idealisme dengan realitas. Dan bagi putra-putri kaum muslimin,
mereka tidak lagi menjadikan halal dan haram sebagai standar penilaian.
Hal ini memang tidak terlepas dari mafahim, maqoyyis, dan qonaat
kapitalis yang ada pada masyarakat saat ini. Pergeseran cara pandang
terhadap pendidikan dapat dengan mudah kita indera. Cita-cita luhur
pendidikan yang begitu luhur, saat ini telah terabaikan oleh masyarakat.
Keinginan untuk melahirkan individu yang memiliki kematangan
kepribadian dan kemandirian, kecerdasan intelektual serta memiliki
keterampilan, tereduksi sedemikian rendahnya. Pendidikan pada akhirnya
dilihat oleh masyarakat dari cara pandang materialisme dan kapitalisme.
Indikator
yang dapat terbaca pada masyarakat adalah motivasi masyarakat untuk
mengikuti pendidikan. Motivasi tersebut tereduksi pada motif untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak dengan orientasi penghasilan, bukan
lagi berorientasi pengetahuan, kecerdasan dan kesadaran. Saat ini orang
masuk sekolah karena ingin dapat pekerjaan yang menghasilkan materi[i].
Akibatnya
sekolah adalah tempat untuk mendapatkan ijazah, karena ijazah adalah
syarat utama untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini berimplikasi pada
sikap dan prilaku, baik masyarakat maupun peserta didik yang rela
melakukan apa saja demi mendapatkan ijazah. Tradisi menyontek, plagiat,
menyuap, membayar ijazah, membayar skripsi, dll, lahir dari paradigma
materialisme ini. Awalnya sekolah adalah tempat menuntut ilmu, tetapi
sekarang sekolah adalah tempat mendapat ijazah.
Cara
pandang ini juga berpengaruh pada pemilihan masyarakat terhadap
jurusan-jurusan (program) studi yang diminati atau yang dipilih. Program
studi yang dianggap berhubungan dengan dunia industrilah yang banyak
dipilih, seperti teknik, kedokteran, komputer, dll. Sementara
program-program studi ilmu humainora menjadi jarang untuk dipilih. Untuk
tingkat SMU, jurusan IPA menjadi kebanggan seolah-olah menrupakan
jaminan masa depan.
Oleh karena itu, pada masyarakat
kapitalis saat ini, kita akan kesulitan untuk menemukan output
pendidikan yang benar-benar memiliki kesadaran atas arti pentingnya
pengetahuan yang memiliki kesadaran kritis atas realitas, yang memiliki
kepekaan humanity dan rasa solidaritas yang tinggi. Yang ada
adalah output yang memiliki sikap individual yang tinggi, tidak matang
dalam pengetahuan dan tidak memahami makna hidup. Dan yang lebih
parahnya lagi, arah kehidupan tidak lagi disandarkan pada kebenaran,
melainkan disandarkan kepada perolehan materi (manfaat) individu. Dan
sekarang output seperti inilah yang banyak mengelolah negara ini. Dan
ini adalah generasi pragmatis. Semua ini terjadi tentu tidak terlepas
dari kebijakan politik dan ekonomi yang diterapkan oleh bangsa
tersebut.
Pendidikan Pragmatis: Implikasi dari Kebijakan Politik dan Ekonomi Kapitalisme
Penyelenggaraan
pendidikan tidak terlepas dari kebijakan politik dan ekonomi suatu
bangsa. Dan kondisinya, kebijakan politik dan ekonomi saat ini dibangun
berdasarkan pada konsep kapitalisme. Di dalam kebijakan ekonomi kapitalis yang terkait dengan pendidikan,
bahwasanya pendidikan adalah sebuah jasa yang memiliki nilai guna
(manfaat). Hal ini karena pendidikan adalah jasa yang dibutuhkan oleh
manusia. Selain memiliki nilai guna, jasa pendidikan juga memiliki nilai
tukar. Sehingga seseorang yang bisa memberikan jasa pendidikan berupa
ilmu pengetahuan atau keterlampilan dapat ditukar dengan upah
(kompensasi) berupa materi. Dengan kata lain, kapitalisme (secara
aqidahnya) memang telah memandang pendidikan sebagai suatu komoditas
ekonomi. Oleh karena pendidikan sebagai komoditas ekonomi dan ekonomi di
dalam kapitalis menuntut adanya kebebasan, maka Negara tidak boleh
campur tangan terhadap pelaksanaan pendidikan. Biarkan pasar yang
berperan sepenuhnya sehingga sektor jasa pendidikan ini nantnya dapat
berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Bahkan yang lebih parahnya lagi,
pasar akan menjadikan sektor pendidikan sebagai pabrik untuk
menghasilkan tenaga kerja yang murah. Dengan kata lain, pendidikan
diarahkan oleh para kapital dengan tujuan semata-mata untuk kepentingan
ekonomi (keuntungan) mereka.
Hal ini terlihat jelas dengan
adanya proses industrialisasi terhadap pendidikan. Proses
industrialisasi pendidikan dapat dilihat/dipahami dalam dua pengertian,
yaitu: (1). Pendidikan dijadikan layaknya industri yang menghasilkan uang dan keuntungan yang berlipat-lipat. (2). Sistem pendidikan yang diformat sedemikan rupa (oleh skenario kapitalisme) untuk menyiapkan peserta didik agar mampu beradaptasi dengan dunia industri-kapitalis.
Peter
McLaren mengatakan, dalam dunia kapitalisme, sekolah adalah bagian dari
industri, sebab sekolah adalah penyedia tenaga kerja/buruh bagi
industri. Ada tiga pengaruh kapitalisme terhadap sekolah, yaitu:
- Hubungan antara kapitalisme dan pendidikan telah mengakibatkan praktek-praktek sekolah yang cenderung mengarah kepada kontrol ekonomi oleh kaum elit.
- Hubungan antara kapitalisme dan ilmu telah menjadikan tujuan ilmu pengetahuan sebatas mengejar keuntungan.
- Perkawinan antara kapitalisme dengan pendidikan serta kapitalisme dan ilmu telah menciptakan pondasi bagi ilmu pendidikan yang menekankan nilai-nilai material dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan martabat manusia. Pada akhirnya peserta didik dalam dunia pendidikan kita kehilangan senstifitas kemanusiaan digantikan dengan kalkulasi kehidupan materialisme.
Hal ini menyebabkan institusi
pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi, telah terkooptasi oleh
mekanisme industri dan bisnis, dimana sekolah menjadi instrumen
produksi ekonomi. Mau tidak mau, kurikulum pendidikan juga ikut
terpengaruh. Misalnya dalam hal menentukan ilmu pengetahuan mana saja
yang perlu dipelajari oleh peserta didik, yang pada akhirnya disesuaikan
dengan kebutuhan dunia industri. Sehingga terciptalah kurikulum yang
sepenuhnya berwatak kapitalistik. Indikator yang dapat kita lihat adalah
sedikitnya jam pelajar untuk ilmu-ilmu humaniora dan moral dibandingkan
dengan pelajaran lainnya. Pada filosofi seperti inilah lahir pendidikan berbasis dunia kerja.
Awalnya, tujuan pendidikan di sekolah adalah untuk menwujudkan manusia
seutuhnya, tetapi sekarang, tujuan pendidikan di sekolah telah bergeser
untuk menghasilkan tenaga kerja industri.
Begitu pula dengan kebijakan politik kapitalis yang terkait dengan pendidikan.
Selaras dengan konsep ideologinya, yakni menjadikan materi sebagai
tujuan tertinggi kehidupan, maka dalam kebijakan politiknya, baik
politik dalam maupun politik luar, kapitalisme akan menjadikan
penguasaan nilai-nilai materi dan pengamanan terhadap hegemoninya
(imperialisme) melalui penanaman nilai-nilai kehidupan kapitalisme
menjadi orientasi (visi) politiknya. Sehingga pendidikan pun diarahkan
sesuai dengan arahan visi politiknya tersebut. Tidak terkecuali untuk
Indonesia. Akan tetapi, karena posisinya sebagai objek imperialisme,
yang kebijakan politiknya berada di bawah pengaruh kebijakan politik
internasional, maka tujuan dzalim ini tidak nampak jelas terlihat karena
telah dibungkus dengan slogan-slogan yang bersifat prestige (kehormatan), seperti mensejajarkan pendidikan pada level internasional, dll.
Dalam
sejarahnya, pendidikan di Indonesia merupakan dampak dari
diberlakukannya politik etis (1890) dengan konsepnya Trilogi Van De
Venter (irigasi, edukasi, dan emigrasi). Tujuannya adalah menciptakan
pekerja-pekerja murah yang siap dipekerjakan di pabrik-pabrik Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda dan melancarkan proses eksploitasinya. Sejak
Indonesia merdeka sampai sekarang pemerintah telah banyak melakukan uji
coba kurikulum, dari Orde Lama (1947, 1952, dan 1964), Orde Baru (1968,
1975, 1984, dan 1994), dan Reformasi (2004 dan 2006) dan sekarang diduga
masih ada antrian sejumlah kurikulum untuk menunjang pendidikannya,
seperti kurikulum antikorupsi, kurikulum karakter bangsa, dan kurikulum
program pengurangan resiko bencana (PRB). Setiap pergantian presiden
atau menteri pendidikan, kurikulum pun ikut diganti dengan asumsi bahwa
kurikulum tersebut sudah tidak pas lagi untuk dijalankan. Akan tetapi
dengan berubahnya kurikulum, tetap saja tidak mampu mengatasi problem
bangsa ini yang semakin mempersempit kehidupan rakyatnya. Karena
realitas yang sebenarnya dari gonta-gantinya kurikulum tersebut adalah
hanya sebagai alat untuk sampai pada tataran internasionalisasi
pendidikan, bukan untuk menghasilkan generasi yang mampu menyelesaikan
problem bangsa ini dan menjadikan bangsa ini mandiri. Artinya bangsa ini
telah terbawa pada permainan internasional yang berlomba-lomba
menjadikan institusi pendidikannya mendapatkan sertifikat ISO
(Organisasi Standar Internasional) dan masuk dalam jajaran world class university untuk tingkat perguruan tinggi, atau internasional school
untuk tingkat sekolah. Dimana motivasi dari semua itu tidak lain adalah
untuk kepentingan kapital, yakni industri jasa pendidikan mereka, dan
bukan untuk kepentingan bangsa ini.
Catatan politik
lainnya, yakni pada masa Soeharto telah dikeluarkan SK tentang NKK/BKK
(Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan Koordinasi Kampus) pada 19 April 1978
oleh menteri pendidikan Prof. Daoed Joesoef dan Pangkomkamtib Soedomo
pada tingkatan perguruan tinggi. Point-point dari NKK/BKK adalah absensi
75%, SKS, KKN, DO, cepat Lulus dan lainnya, seperti yang telah
dijalankan sekarang. Hakikat Serangkaian peraturan di atas merupakan
upaya dominasi dan hegemoni Negara melalui tangan birokrasi kampus agar
mahasiswa berpikir dan bertindak sesuai dengan kerangka yang sudah
ditentukan (meredam kritisisme mahasiswa). Di samping itu pembinaan
ideologi mahasiswa dilakukan melalui pelajaran pancasila, kewiraan, dan
seluruh organisasi kemahasiswaan wajib menerima ideologi pancasila
sebagai ideologi satu-satunya. Diturunkannya SK tersebut merupakan peredam terhadap tuntutan mahasiswa
pasca peristiwa ASPRI, korupsi, pembangunan TMII, MALARI (Malapetaka
Lima Belas Januari) pada 1974 dan lain sebagainya. Dari sini kita bisa
melihat adanya arahan kebijakan politik terhadap pendidikan untuk
mengamankan kepentingan kelompok penguasa atau pemilik kapital.
Berdasarkan
hal di atas, ketika pendidikan ‘berkualitas internasional’ tidak
tersedia secara gratis karena motivasinya memang untuk keuntungan
ekonomi dan pengamanan hegemoni kapitalisme, maka pada level masyarakat
yang tidak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup, masyarakat akan
diarahkan pada institusi pendidikan yang menjanjikan kesempatan kerja
untuk menopang kehidupannya, seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
lembaga-lembaga kursus, dan jurusan-jurusan praktis di perguruan tinggi
swasta yang orientasinya keterampilan. Padahal inilah yang diharapkan
oleh pihak asing, agar keinginannya berjalan mulus tanpa ada yang
menghambat. Di satu sisi, mereka telah mendapatkan mahasiswa dengan daya
kekritisan yang telah tumpul akibat berbagai kekangan dan regulasi yang
sangat mengikatnya sehingga mereka bisa menguatkan cengkraman
imperialismenya. Pada sisi yang lain, mereka juga akan mendapatkan pasar
tenaga kerja yang murah. Hasilnya, proses hegemoni negara-negara maju
untuk menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia telah
terjadi dengan sangat halus.
Integrasi Sistem Politik-Ekonomi dan Pendidikan Islam Melahirkan Generasi Unggul dan Peradaban Agung
Daulah
khilafah merupakan Negara yang dibangun atas ideology yang shahih dan
jelas. Sehingga di dalam membangun generasi, Islam telah memiliki
sejumlah konsep yang jelas. Allah SWT telah menetapkan bahwa kualitas
generasi yang dihasilkan dari proses pendidikan di dalam Islam adalah
generasi yang secara individual berkualitas Ulul Albab dan secara generasi berkualitas Khoiru Ummah.
Kualitas generasi seperti ini kelak akan mampu memimpin bangsanya
menjadi bangsa besar, kuat dan terdepan, bahkan akan mampu menghantarkan
bangsanya menjadi pemimpin peradaban dan perkembangan teknologi dunia.
Hal
ini telah dibuktikan oleh peradaban Islam dahulu. Jauh sebelum
kebangkitan Eropa dan kebangkitan Amerika, kaum muslim dengan
peradabannya telah berjaya memimpin peradaban dan perkembangan teknologi
dunia selama 13 abad. Tidak ada kejayaan bangsa manapun yang dapat
bertahan selama itu. Hunke dan Al–Faruqi dengan cukup baik melukiskan
latar belakang masyarakat Islam di masa khilafah Islam sehingga
keberhasilan penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan serta
teknologi telah terjadi, setidaknya terdapat dua faktor yang menjadi
sebab utamanya, yaitu:
Pertama adalah
paradigma yang berkembang di masyarakat Islam. Paradigma ini lahir dari
faktor Aqidah yang menjadikan ilmu sebagai “saudara kembarnya” iman,
menuntut ilmu sebagai ibadah, menuntut ilmu sebagai salah satu jalan
mengenal Allah (ma’rifatullah), dan ahli ilmu sebagai pewaris
para nabi, sementara percaya tahayul adalah sebagian dari sirik.
Paradigma ini telah menggantikan paradigma jahiliyah, atau juga
paradigma di Romawi, Persia atau India kuno yang menjadikan ilmu sebagai
sesuatu privilese kasta tertentu dan rahasia bagi orang awam.
Paradigma ini melahirkan revolusi terhadap cara pandang ilmu sehingga
terjadilah kebangkitan ilmu dan teknologi. Motivasi pencarian ilmu
dimulai dari hadits-hadits seperti “Mencari ilmu itu hukumnya fardhu
atas muslim laki-laki dan muslim perempuan”, “Carilah ilmu dari buaian
sampai liang lahad”, “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina”,
“Orang yang belajar dan mendapatkan ilmu sama pahalanya dengan sholat
sunat semalam suntuk”, dsb. Bahkan, para konglomeratpun sangat
antusias dan bangga bila berbuat sesuatu untuk peningkatan taraf ilmu
atau pendidikan masyarakat, seperti misalnya membangun perpustakaan
umum, observatorium ataupun laboratorium, lengkap dengan menggaji
pakarnya.
Kedua adalah peran negara yang
sangat kuat dalam menyediakan stimulus-stimulus positif bagi
perkembangan ilmu. Walaupun kondisi politik berubah-ubah, namun sikap
para penguasa muslim di masa lalu terhadap ilmu pengetahuan jauh lebih
positif dibanding penguasa muslim sekarang ini. Negara sangat memuliakan
para pengajar/ilmuwan, menjamin kehidupan mereka, serius melakukan
pemberdayaan perannya dan bahkan mendorong mereka untuk menguasai Ilmu
setinggi-tingginya dengan motivasi yang berasal dari Al-Quran dan
As-sunnah.
Tidak bisa dibantah bahwa faktor kemandirian
dan kekuatan visi negara adalah faktor terpenting dalam menguasai ilmu
pengetahuan dan mengarahkan desain sistem pendidikannya yang
berkualitas. Sebab sistem politik negaralah yang akan mengarahkan
pengelolaan seluruh sumber daya negara (baik SDA maupun SDM) untuk
mencapai tujuan-tujuan politiknya.
Di dalam Islam, politik mempunyai makna pengaturan urusan umat dengan aturan islam baik di dalam maupun luar negeri (ri’ayah syu’un al ummah dakhilian wa kharijiyan).
Aktivitas politik dilaksanakan oleh rakyat (umat) dan pemerintah
(Negara). Negara merupakan lembaga yang mengatur urusan tersebut secara
praktis. Di sisi lain umat memberikan koreksi (muhasabah) kepada
pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Sementara itu tujuan politik
Islam adalah memelihara kehidupan masyarakat dengan hukum-hukum Islam
dalam aspek-aspek penting manusia dan kehidupan, yaitu: memelihara
keturunan, memelihara akal, memelihara kehormatan, memelihara jiwa
manusia, memelihara harta, memelihara agama, memelihara keamanan, dan
memelihara negara.
Termasuk juga bidang pendidikan, demi
tercapainya tujuan politik Islam yakni memelihara akal, maka negara
berkewajiban mendorong manusia untuk menuntut ilmu, melakukan tadabbur,
ijtihad, dan berbagai perkara yang bisa mengembangkan potensi akal
manusia dan memuji eksistensi orang-orang berilmu (Lihat: TQS al-Maidah:
90-91; TQS az-Zumar: 9; TQS al- Mujadilah: 11). Kebijakan negara secara
sistemik akan mendesain sistem pendidikan dengan seluruh supporting systemnya.
Bukan hanya dari sisi anggaran, namun juga terkait media, riset, tenaga
kerja, industri, sampai pada tataran politik Luar Negeri. Pemerintahan
Islam benar-benar menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah investasi
masa depan bagi keberlangsungan Islam[ii].
Melalui sistem
pendidikannya, Islam akan melahirkan output generasi yang berkualitas,
baik dari sisi kepribadian maupun dari penguasaan ilmu pengetahuan. Dan
peranannya di tengah-tengah masyarakat akan dirasakan, baik dalam
menegakkan kebenaran maupun dalam penerapan ilmunya. Karena Islam telah
memposisikan orang yang berilmu sebagai penopang kebaikan masyarakat.
Abu Nu’aim menyatakan bahwa Nabi mengatakan, “Dua macam golongan
manusia yang apabila keduanya baik, maka akan baiklah masyarakat.
Tetapi, apabila keduanya rusak, maka rusaklah masyarakat itu. Kedua
golongan manusia itu adalah orang-orang yang berilmu dan penguasa”. Oleh karena itu, orang yang berilmu harus memerankan dirinya dalam mewujudkan kebaikan di tengah-tengah masyarakat.
Sistem
pendidikan Islam[iii] telah menggariskan bahwasanya kurikulum
pendidikan wajib berlandaskan pada aqidah islam. Mata ajaran serta
metodologi penyampaian pelajaran seluruhnya disusun tanpa adanya
penyimpangan sedikitpun dari asas tersebut. Politik pendidikan adalah
membentuk pola pikir dan pola jiwa islami. Dan seluruh mata ajaran
disusun berdasarkan strategi tersebut. Tujuan pendidikan di dalam Islam
adalah membentuk manusia yang memiliki: (1) Kepribadian Islam; (2)
Menguasai pemikiran Islam dengan handal; (3) Menguasai ilmu-ilmu terapan
(pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK); (4) Memiliki ketrampilan yang
tepat guna dan berdaya guna.
Pembentukan kepribadian
Islam dilakukan pada semua jenjang pendidikan yang sesuai dengan
proporsinya melalui berbagai pendekatan. Barulah setelah mencapai usia
baligh, yaitu SMP, SMU, dan PT, materi yang diberikan bersifat lanjutan
(pembentukan, peningkatan, dan pematangan). Hal ini dimaksudkan untuk
memelihara sekaligus meningkatkan keimanan serta keterikatannya dengan
syariat islam. Indikatornya
adalah bahwa anak didik dengan
kesadaran yang dimilikinya telah berhasil melaksanakan seluruh kewajiban
dan mampu menghindari segala tindak kemaksiatan kepada Allah Swt. Dari
sinilah akan dihasilkan individu generasi yang memiliki kepribadian yang
mulia dan paham akan makna kehidupan sehingga kelak akan dirasakan
peranannya di masyarakat.
Di dalam Islam, Negara
berkewajiban memenuhi kebutuhan pengajaran atas hal-hal yang dibutuhkan
manusia dalam kehidupannya. Semua ini harus terpenuhi bagi setiap
individu, baik laki-laki maupun perempuan pada tingkat pendidikan dasar
dan menengah. Negara wajib menyediakannya untuk seluruh warga dengan
cuma-cuma. Dan kesempatan pendidikan tinggi secara cuma-cuma dibuka
seluas mungkin dengan fasilitas sebaik mungkin. Hal ini karena Islam
telah menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan primer bagi
masyarakat.
Politik ekonomi dalam Islam adalah jaminan
terpenuhinya pemuasan semua kebutuhan primer tiap-tiap individu dan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier sesuai kadar
kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat tertentu yang
memiliki gaya hidup khas. Kebutuhan primer menurut pandangan Islam
terbagi dua. Pertama, kebutuhan primer bagi tiap individu rakyat. Kedua,
kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan. Kebutuhan primer bagi
tiap individu adalah sandang, pangan, dan papan. Ketiganya merupakan basic needs
bagi setiap individu. Adapun yang termasuk kebutuhan primer bagi rakyat
secara keseluruhan adalah keamanan, pengobatan, dan pendidikan.
Pemenuhuan
kebutuhan primer ini di tengah-tengah masyarakat merupakan kewajiban
Negara. Menyangkut pendidikan, terdapat ijma` shahabat terhadap
pemberian nafkah para guru sejumlah tertentu yang diambil dari baitul
mal (kas Negara) sebagai upah bagi mereka. Diriwayatkan dari jalan Ibnu
Abi Syaibah dari Shadaqah ad-Dimasyqi dari al-Wadhiyah bin Atha` yang
berkata: “Di Madinah terdapat tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Umar memberi nafkah tiap-tiap dari mereka lima belas dinar setiap bulan (15 dinar setara dengan 63,75 gram emas)”.
Di samping itu, Rasulullah saw telah menentukan tebusan tawanan Perang
Badar berupa keharusan mengajar sepuluh anak-anak kaum muslimin. Ini
membuktikan bahwa masalah pendidikan menjadi tanggung jawab Negara.
Tanggung jawab Negara terhadap pendidikan adalah sama, baik terhadap
fakir miskin maupun orang kaya. Harta yang dibayarkan untuk para guru
sebagaimana masa kepemimpinan Rasulullah dan para khalifah, tidak
dikhususkan untuk pendidikan anak-anak kaum fakir miskin, tetapi
bersifat umum meliputi fakir miskin dan orang kaya. Meskipun
pengadaannya bagi semua manusia menjadi tanggung jawab Negara, namun
seseorang tidak dilarang mengadakan untuk dirinya sendiri. Sehingga
boleh mendatangkan guru khusus untuk anak-anaknya. Begitu juga, boleh
bagi seorang guru mengambil upah.
Ini merupakan jaminan
terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan sebagai kebutuhan primer semua
individu rakyat satu-persatu secara menyeluruh. Dengan hukum-hukum
tersebut, politik ekonomi Islam untuk pendidikan yang berkualitas dan
bebas biaya terealisasikan secara menyeluruh. Selain itu, sinergis
dengan arah politik dalam negeri Islam, Negara akan menjamin tercegahnya
pendidikan sebagai bisnis atau komoditas ekonomi.
Negara
menyediakan perpustakaan, laboratorium dan sarana ilmu pengetahuan
lainnya, disamping gedung-gedung sekolah, universitas untuk memberi
kesempatan bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai
cabang pengetahuan, seperti fiqh, ushul fiqh, hadits dan tafsir,
termasuk di bidang ilmu murni, kedokteran, teknik, kimia,
penemuan-penemuan baru (discovery and invention) sehingga lahir
di tengah-tengah umat sekelompok besar mujtahidin dan para penemu. Dari
sini kita dapat melihat bagaimana islam mendorong perkembangan ilmu
pengetahuan dan kemajuan teknologi. Menyikapi hal ini, oleh karenanya
perlu dipahami prinsip dasar penguasaan ilmu pengetahuan oleh sistem
pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut :
- Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) harus dilakukan secara sistemik oleh negara.
- Penguasaan IPTEK hanya bisa dilakukan berdasarkan kebijakan Negara, baik yang berkaitan dengan politik dalam maupun politik luar, bukan didrive oleh kepentingan swasta apalagi asing.
- Penguasaan IPTEK oleh Islam adalah untuk mewujudkan rahmatan lil ‘aalamiin.
Oleh
karena itu, penguasaan IPTEK yang berkaitan dengan kemashlahatan
kehidupan, di dalam Islam tidak akan dimonopoli hanya untuk Negara Islam
semata, melainkan akan dibuka untuk dunia sebagai
bentuk dakwah.
Penguasaan IPTEK juga didorong dalam rangka memudahkan penyebaran Islam
(melalui dakwah dan jihad) demi tegaknya hukum Islam di muka bumi
sehingga terwujud rahmatan lil ‘aalamiin.
Harus diingat,
bahwa puncak pencapaian penguasaan sains dan teknologi pada zaman
kejayaan umat Islam di masa lalu memang tidak bisa dilepaskan dari
tegaknya sistem kekhilafahan, dimana adanya sistem komando yang
terintegrasi secara global yang peranan secara politik sejalan dengan
peranan agama. Kita juga mendapatkan gambaran dalam sejarah bahwa sosok
para pemimpin terdahulu yang shaleh selain sebagai seorang negarawan
yang handal dan mumpuni, juga sebagai seorang ‘ulama wara’ yang takut
pada Rabb-nya, mencintai ilmu serta mencintai rakyatnya. Pada aspek ini
kita bisa melihat adanya integrasi tiga pilar utama dalam pembentukan
peradaban Islam yaitu agama, politik dan ilmu pengetahuan terpadu dalam satu kendali sistem Kekhilafahan dibawah pimpinan seorang Khalifah.
Sementara
itu tolok ukur kemampuan penguasaan teknologi yaitu sebuah negara
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi secara sistemik, adalah jika :
- mampu membentuk sistem pendidikan sesuai dengan pandangan hidup negara serta problem-problem yang dihadapi negara
- mampu membentuk kemampuan penelitian yang mengarah kepada penyelesaian problem-problem yang dihadapi negara
- mampu membentuk sistem industri yang mengaplikasikan hasil penelitian
- mampu membentuk sistem industri yang mampu memperoleh keuntungan ekonomi secara wajar
- mampu mengarahkan sistem industri kepada penyelesaian problem-problem yang dihadapi berangkat dari visi dan misi negara
Berdasarkan
prinsip-prinsip dasar inilah terlihat bahwa negara yang kuat dan
mandiri akan mensinergikan semua komponen strategisnya demi menguasai
ilmu pengetahuan. Dari mulai sistem pendidikan, kemampuan riset, sistem
industri, pola pemetaan tenaga kerja, hingga bagaimana politik diplomasi
dan hubungan internasional dengan negara-negara lain. Semua dirancang
secara sinergis yang berangkat dari garis-garis politik negara.
Penutup
Dari
paparan di atas, jelas bahwa pendidikan yang dibawa oleh kapitalisme
telah membawa generasi ini pada kerusakan dan peradaban ini pada
kehancuran. Hal ini karena kapitalisme telah menjadikan materi sebagai
orientasi kehidupan dan meninggalkan peran agama dalam kehidupan. Ilmu
pengetahuan tidak lebih tinggi derajatnya dengan materi, bahkan ilmu
telah dijadikan komoditas perdagangan demi perolehan materi. Adapun
Islam, Islam telah memposisikan ilmu sebagai cahaya peradaban. Peran
ilmu sangat agung, yakni mewujudkan kemaslahatan umat guna mempermudah
kehidupan manusia sehingga meningkatlah taraf kehidupan manusia di muka
bumi. Sistem pendidikan Islam akan menghasilkan generasi mulia sekaligus
mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dengan sangat pesat sehingga
wajar bila pada abad pertengahan, Islam menjadi pusat peradaban dan
rujukan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, maka Islam mampu menjawab
persoalan kualitas generasi, bahkan mendorong terwujudnya peradaban yang
mulia dan agung.
0 komentar:
Posting Komentar